Aku selalu mengagumi rakyat jelata yang berjuang dan bertahan hidup di Jakarta dan menapaki masa depan yang tak pernah jelas. Daya tahan, resistensi mereka dalam meng-hadapi tekanan kehidupan yang menghimpit keras, setiap hari sangat mengagumkan. Ada kekuatan besar yang tak pernah terlihat di mata mereka, tersembunyi entah di bagian mana di dalam mata mereka. Mungkin di retina. Mungkin di korne…
Sebelum meninggal, Romo Mangun pernah bercerita bahwa ia sedang mengerjakan sebuah novel. Mungkin novel inilah yang dimaksud. Semula, naskah novel ini berupa berkas - berkas yang ditulis dengan mesin ketik, tercerai-berai, penuh coretan, sehingga tidak mudah di baca. Setelah di ketik ulang dan disunting seperlunya oleh orang - orang yang dekat dengan Romo Mangun, KPG ( Kepustakaan Gramedia Popu…
Novel yang berjudul “Balada Becak” merupakan novel buatan Y.B. Mangunwijaya. Romo Mangun membuat buku ini sebagai salah satu novel pertama yang ia buat. Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta sederhana dari tahun 80-an. Bahasa sastra yang menarik pembaca untuk meresapi dan kembali membayangkan masa itu. Novel ini dapat membuat pembacanya seolah-olah masuk dalam kisah. Novel roman yang di…
Semenjak terbitnya Gema Tanah Air tahun 1948 dengan tambahannya kemudian hingga tahun 55-an, kesusasteraan Indonesia seolah-olah terhenti pada tahun-tahun tersebut bagi para penulis buku pelajaran sekolah dan panitia ujian yang menyusun soal-soal ujian tiap tahun, karena guru-guru hanya mendasarkan pengajarannya atas hasil-hasil pengarang-pengarang yang ditampilkan dalam bungarampai tersebut, j…
“Panglima-panglima medan perang, raja, serta adipati adalah jago-jago perang, pendekar dalam seni menyebar maut. Mungkin itu nasib lelaki. Tetapi kita kaum perempuan, Lusiku sayang, kita punya keunggulan lain: mengandung, menyusui, mengemban, dan memekarkan kehidupan. Rahim kita serba menerima. Tetapi juga serba memberi. Payudara perempuan adalah buah yang membanggakan kaum kita, Lusi. Sumbe…
Buku ini menceritakan kisah pembantu terdekat Roro Mendut, Genduk Duku, dan pencariannya akan cinta, kehidupan, dan perjalanan di Jawa abad ke-17.
Midah, pada awalnya berasal dari keluarga terpandang dan beragama. Karena ketidakadilan dalam rumah, ia memilih kabur dan terhempas di tengah jalanan Jakarta tahun 50-an yang ganas. Ia tampil sebagai orang yang tak mudah menyerah dengan nasib hidup, walaupun ia hanya seorang penyanyi dengan panggilan “si manis bergigi emas” dalam kelompok pengamen keliling dari satu resto ke resto, bahkan d…