Text
Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia
Buku ini memuat delapan cerita yang ditulis oleh empat penulis: F. Wingger (Dari Boedak Sampae Djadi Radja), Tio Ie Soei (Pieter Elberveld), F.D.J Pangemanann (Tjerita Rossiana dan Tjerita Si Tjonat), G. Francis (Tjerita Njai Dasimah), dan H. Kommer (Tjerita Kong Hong Nio dan Tjerita Nji Paina).
Kesemua cerita ini ditulis dalam bentuk bahasa Melayu-pasar, yang oleh manusia-manusia Orde Baru disebut Ejaan Lama dan karena itu harus diubah dan disempurnakan menjadi Ejaan Baru. Banyak pakar mengarai bahwa apa yang para pujangga setianya, terselip maksud politik yabg jahat dan pelbagai alasan zaman Voon-Babe sebagai barang-barang usang, yabg sudah masuk kotak.
Mendesak adanya semacam demokratisasi bahasa saat ini. Sebab, kita tidak bisa terus-terusan dipisahkan dari sejarah kita, sastra dan tradisi-tradisi kita. Kalau orang Jawa boleh memakai kata lucu seenaknya seperti "Terhadep kepada Semakin" yang jelas-jelas diimpor dari bahasa Jawa dan dalam pidato resmi tidak boleh diketawain (ingat gaya bahasa Soeharto, kan?), maka mengapa orang Ambon tidak boleh memakai kata seperti "Beta"? Orang Manado memakai kata "Torang" atau "Dorang"? Orang Cirebon mamakai kata "Isun"? atau Orang Tionghoa memakai kata "Owe"?
Demokrasi bahasa itu merupakan usaha pembebasan bahasa dari ejaan, agar bahasa Ibu Indonesia hidup kembali, bukan sebagai pemilik penguasa, tetapi milik rakyat Indonesia dengan segala variasinya.
Tidak tersedia versi lain