”Huu… koruptor tampan berhati preman…. Tegakah kau ambil uang rakyat, yang bekerja di bawah alam melarat…? Sudah matikah rasa ibamu pada warga yang kerja bagaikan babu…? Koruptor tampan berhati preman…. Berhentilah berbuat nista, karena dosamu ditanggung jiwa. Hargailah CINTA, karena jika impian menjadi nyata, cinta teruntai menjadi kalung mutiara yang membuat kalian bahagia ….”…
Ia pacu sejauhnya hanya ke tepian senja Batas yang membuat dirinya bertanya-tanya: Bunda, kenapa kita tidak menempuhnya Bukankah ayah telah berjanji menjaga kita?
"Di tangannya, kata seolah mendapatkan tuah. Ungkapan verbal lumrah dalah puisi Sapardi menjelmakan sebuah 'dunia di seberang bahasa' yang enigmatik, tempat segalanya terlihat begitu bening tapi sekaligus tak tertembus, begitu akrab namun selalu tak tertangkap."